Laman

Senin, 21 November 2011

Kultwit Asmanadia Tentang Bagaimana Menulis Cerita

KoPas >> http://forumlingkarpena.net
  1. Cari cara untuk selalu mencatat setiap ide menarik
  2. Temukan bentuk tulisan. Apakah akan dibuat dari A-Z alurnya linear biasa. Atau dimulai dari klimaks, bahkan akhir cerita
  3. Buat outline sederhana bagaimana tulisan akan bergerak. Bukan keharusan tapi akan sangat membantu bagi pemula
  4. Buat opening yang memikat. Hindari lead cerita yang biasa-biasa aja. Be creative!
  5. Beri nyawa pada tokoh-tokohmu.
  6. Garap setting (waktu/tempat) untuk memperkuat cerita. Beri warna lokal sesuai kebutuhan
  7. Kenapa sebuah cerita hambar atau terasa monoton, karena tidak ada konflik/konflik tidak tergarap! Perhatikan konflikmu
  8. Olah setiap unsur cerita dengan sabar. Beri perhatian pada detail yang harus dimunculkan agar logika cerita mantap
  9. Hindari kebetulan dalam cerita, kecuali bisa dipertanggungjawabkan. Khususnya untuk penyelesaian cerita.
  10. Saring dialog, buang yang tidak berfungsi.
  11. Temukan formula ending yang pas, tanpa harus berpanjang-panjang kalimat.
  12. Tentang ending lagi, akhir cerita yang baik meninggalkan gema lebih lama di hati pembaca. Jangan sia-siakan ending
  13. Batasi ego-mu sebagai penulis. Tokoh-tokoh muncul sesuai karakter dalam ceritamu, tokoh-tokoh itu bukan dirimu.
  14. Mematikan tokoh untuk memberi kejutan dalam cerita... cari cara lain yang tidak klise:
  15. Biasakan memulai dengan basmalah sebelum menulis, lalu mulailah menulis dengan hatimu
  16. Belajar setia & bertanggung jawab bukan hny dlm upaya sakinah bersamamu /berkeluarga, jg dlm menyelesaikan ceritamu
  17. Menulis untuk diselesaikan. Never ever give up on your stories. Give them chance!
  18. Kegigihanmu dlm menyelesaikan cerita yg sudah kamu mulai mencerminkan kegigihanmu dlm menghadapi persoalan kehidupan
  19. Beri judul yang menarik untuk ceritamu
  20. Menulis itu cara lain berbagi. Hilangkan ketakutan/tidak pede dan excuse lain dalam mengirim cerita ke media

Minggu, 13 November 2011

Ini Dia, Cara Efektif Membaca Buku

KoPas dari --http://www.flpjakarta.com/?p=4

Punya banyak koleksi buku? Masih ingatkah Anda, buku apa saja yang pernah dibaca dan apa inspirasi yang Anda dapatkan dari buku itu? Jika Anda menjawabnya, “Aduh, sudah lupa”, atau bahkan sama sekali tak ada kesan dari buku yang Anda baca, bisa jadi, cara membaca yang diterapkan selama ini tidak efektif. Penulis buku “101,5 Inspirasi Kecerdasan Emosional Anak Muda” yang juga pakar EQ, Anthony Dio Martin membagi 3 cara yang bisa diterapkan untuk membaca secara efektif dan mendapatkan manfaat dari apa yang Anda baca. Apa saja triknya?

Pertama, terapkanlah teknik membaca kontemplatif. “Ketika membaca buku, jangan dari awal sampai akhir lewat begitu saja, kemudian lupa apa yang dibacanya,” kata Anthony, di arena Pesta Buku Jakarta 2011, di Istora Senayan, Jakarta, Minggu (3/7/2011).

Bagaimana cara membaca kontemplatif? Anthony menjelaskan, saat membaca buku, peganglah pensil atau pulpen. Beri catatan pada bagian yang menurut Anda menarik. Catatan itu bisa berupa komentar, ketidaksamaan pendapat atau apa pun.

“Itu kan buku Anda sendiri, tidak masalah jadi penuh coretan. Caranya, pegang buku, pegang pensil dan bolpen, corat coret. Biar saja. Kasih komentar di bagian yang dibaca. Coretan ini akan melatih, mencerdaskan pikiran Anda. Tandai, kasih komentar. Lingkari, kasih tanda seru atau memberi pendapat tentang apa yang Anda baca. Misal, anda tidak suka, tidak sependapat,dan sebagainya. Jangan biarkan buku tetap rapi,” paparnya.

Trik kedua, buatlah mind mapping. Caranya, membuat garis besar isi buku setelah selesai membacanya.

Dan ketiga, berikan catatan pada notes kecil untuk mencatat ide yang muncul dari buku yang Anda baca. “Pengetahuan tidak ada artinya kalau tidak memunculkan ide. Misalnya, bikin catatan-catatan dari baca buku ini (yang dibaca), apa yang Anda dapatkan. Sebuah buku akan berkesan kalau berhasil membuat kita terinspirasi dan membuat kita punya ide untuk melakukan sesuatu,” kata Anthony.

Sumber: kompas.com

Kamis, 10 November 2011

Hukum Menulis Cerpen


Ditulis tanggal : 10 - 11 - 2011 | 10:27:12

ditulis oleh Awy Ameer Qolawun, FLP Arab Saudi.

CoPas dari : http://forumlingkarpena.net/kritik_sastra/read/hukum_menulis_cerpen


Sebagai penikmat sastra –dan kadang-kadang iseng menulis karya sastra– pernah terlintas di benak saya bagaimana hukum menulis cerpen (apalagi novel)? Bukankah ada seperti unsur membohongi gitu? Menulis cerpen itu kan mengarang (insya') dan mengarang itu kan mengada-ada –heheh–, apa nggak "ngapusi", membohongi? Kan tokoh-tokohnya, kejadiannya, latar belakangnya, tempat kejadiannya; bias jadi rekaan semua,walau diangkat dari kejadian sehari-hari dengan merubah pelakunya.

Hal ini pernah merisaukan pikiran saya lumayan agak lama, sebelum saya mendiskusikannya dengan beberapa Guru-Guru Besar saya yang masing-masing memberikan jawaban berbeda sesuai dengan wijhah nadhor (sudut pandang) masing-masing, meski inti jawaban adalah sama.

Cerpen, dalam istilah Arab disebut "Riwayah" atau "qisshoh qoshiroh" atau "usthuroh" (tapi kalau ini lebih tepatnya berarti legenda); itu tidak ada hukum yang pasti dalam ilmu fiqih, maksudnya tidak ada bab khusus dalam ilmu fiqih yang membahas tentang itu. Berbeda dengan menggambar –baik 2 dimensi atau 3 dimensi­– yang terdapat dalil syariat sekaligus terjadi berbagai macam ikhtilafu-r Ro’yi (perbedaan pendapat) antar para fuqoha’ (pakar fiqih).

Maka jika melihat pada ketiadaan syariat memberikan hukum jelas terhadap sesuatu, bisa jadi menulis cerpen itu termasuk Mubah; namun karena faktor tertentu, ia bisa jadi juga haram, makruh, atau malah berpahala (begitu pula hukum membacanya) merujuk pada kaidah "al-ashlu fis syai-i al-ibahah ma lam yadullad dalil ala tahrimih"; asal segala sesuatu adalah boleh, selama tak ada indikator pengharaman.

Karena sejak dulu di dunia Arab –yang darinya terlahir empat madzhab itu– cerpen berkembang pesat, mulai "Kalilah wa Dimnah", "Alfu Lailah wa Lailah", "Qeis Majnun Layla" dan sebagainya. Dan tak satupun ulama madzhab yang meributkan apalagi memperselisihkannya. Bahkan sastra Arab sendiri telah jauh berkembang sejak pada masa sebelum Islam. Dan siapapun tahu bahwa cerpen masuk pada bagian ilmu Adab, atau Sastra

Sekedar untuk diketahui juga, Nabi Saw. diutus saat bangsa Arab berada dalam masa keemasan sastra mereka. Makanya Al-Qur’an turun dengan tingkat sastra yang ketinggiannya tidak bisa ditandingi oleh siapapun.

Secara to the point, cerpen itu dalam cara menghukuminya masuk pada kaidah "lil wasa-il hukmul maqashid", tergantung penggunaan. Sederhananya, cerpen adalah hanya sebuah alat, wasilah, atau perantara. Maka bisa jadi ia berpahala kalau mengantarkan pembacanya ingat pada Allah, seperti fiksi-fiksi Islamy. Berdosa bahkan haram seperti novel-novel yang membangkitkan syahwat dan mengarahkan pembacanya pada maksiat. Bisa juga ia tak bernilai pahala atau dosa, seperti cerpen-cerpen yang fungsinya sekedar pelepas lelah, atau cerpen buat anak-anak, fiksi-fiksi fantasi, dan seterusnya.

Lepas daripada itu, bertutur dengan menyelipkan pendidikan, pemikiran, nasehat melalui media ini sebenarnya adalah salah satu uslub syariah (metode syariat). Lihat dalam Al-Qur'an atau Hadits, banyak sekali cerita-cerita bukan? Walau tentu saja kisah nyata.

Oleh karenanya, menulis sebuah cerpen bisa "ada gunanya" setelah memenuhi beberapa kriteria, apalagi kita adalah seorang muslim yang dituntut tidak boleh membuang waktu terhambur begitu saja. Semisal menulisnya untuk tujuan dakwah, dengan menyisipkan nilai-nilai agama di dalamnya, mengembangkan kreativitas dan daya imajinasi, tidak mengganggu kewajiban, tidak ada unsur sengaja membohongi, membuat fitnah, memprovokasi, menjatuhkan nama baik, dan seterusnya.

Memukul rata bahwa membuat cerpen adalah "ngapusi", maka jadinya haram; adalah tentu tidak tepat. Sebab semua tahu bahwa cerpen adalah sastra, adab, dan dari dulu, tak ada satupun ulama yang meributkan adab. Apalagi sampai membid'ahkan dengan alasan tak ada di zaman Nabi. Kentara jika kurang memahami sejarah dan Uslub Qur’ani itu sendiri.

Alhasil, cerpen itu tergantung niat penulisnya, bisa jadi ia mubah, makruh, haram, sunnah, bahkan wajib. Bisa jadi ia berpahala, tak bernilai apa-apa, bahkan berdosa; semua kembali ke masing-masing penulis dan apa tujuannya.

Akhirnya, yang terpenting adalah niat, tak hanya cerpen, semua jenis dan model tulisan pun begitu, sebab ia adalah hanya sarana saja. Ya seperti makan, minum itu; asalnya kan mubah, bisa jadi bernilai ibadah kalau kita niatkan untuk suplemen biar giat sholat, atau malah dosa kalau diniatikan biar semangat saat hendak melakukan dosa. So, innamal a'malu binniyyah. Wallahu a'lam :) (*)


Sabtu, 01 Oktober 2011


Apa sih yang didapat dari menulis? Honor? Ketenaran? Penyaluran hobi?

Dalam wawancaranya dengan sebuah harian nasional, Clara Ng – seorang penulis yang telah menghasilkan puluhan buku cerita anak dan novel – mengatakan bahwa menulis adalah satu-satunya cara agar tetap ‘waras’. Melalui tulisannya, Clara menyalurkan ide-idenya, kegelisahannya dan pemikirannya. Bagi Bang Jonru, founder Writers Academy, menulis adalah part of his life. Bagi saya – yang ingin tulisan saya ‘beredar’ di media cetak – menulis sama dengan konsisten dan disiplin.

Ketika pertama kali tulisan saya muncul di sebuah majalah anak-anak, wahh.. senangnya luar biasa. Padahal honornya tidak luar biasa, hehehe…. Setelah yang pertama itu, saya ingin tulisan saya lainnya bisa dimuat. Bukan cuma di satu media cetak, tetapi di banyak media cetak yang berbeda. Kalau bisa sih menjadi penulis tetap. Berhubung sampai sekarang belum ada yang menawari, saya sendiri yang membuat jadwal kapan harus mengirim tulisan ke media A, kapan waktunya menulis untuk media B, dan seterusnya.

Kelihatannya mudah, tetapi prakteknya sama sekali tidak semudah membalikkan telapak tangan. Namanya juga manusia, inginnya sih hari ini mengirim tulisan ke media, minggu depan dimuat, bulan depan ditawari jadi kontributor tetap, tiga bulan kemudian menerbitkan buku dan langsung best seller, hehehe….

Padahal kenyataannya tidak bisa seperti itu. Setiap sesuatu itu perlu proses dan perlu waktu. Kuncinya adalah konsisten dan disiplin. Karena saya ingin ingin tulisan saya dimuat di media cetak, ya saya harus rajin mengirim tulisan.

Long journey begins with one small step

Berapapun jauhnya jarak yang harus ditempuh, kalau kita mulai menapakinya walaupun dengan langkah kecil sekalipun, pada akhirnya kita akan sampai di garis finish. Namun bila kita tidak mulai melangkah, kita tidak akan pernah tiba di garis finish, walaupun jarak yang harus ditempuh amatlah dekat.

Jadi, mulailah konsisten dan disiplin dengan apapun yang ingin Anda wujudkan, apapun itu. Ngomong-ngomong soal konsisten dan disiplin, tulisan ini adalah salah satu wujud konsistensi dan disiplin saya sebagai kontributor tetap PenulisLepas.com. Konsisten untuk terus menulis di PenulisLepas.com. Disiplin dengan jadwal mengirim tulisan yang sudah saya buat. Mudah-mudahan untuk selanjutnya saya bisa lebih sering sharing banyak hal melalui tulisan-tulisan saya. Semoga!

copas dari: http://www.penulislepas.com/menulis-konsisten-disiplin

Senin, 12 September 2011

Sedikit Ketidakpedulian


Sabtu 10 september 2011 saya dajak oleh salah seorang teman semi lama alias teman yang jarang bertemu kesebuah pusat perbelanjaan di kota padang ini. Teman saya tersebut berencana melihat-lihat tas, lalu jika mungkin akan dibeli yang menjadi pilhannya.

Ini adalah kunjungan pertama saya ke pusat perbelanjaan ini semenjak gempa hebat 31 september 2009 silam. Jika tak diajak teman saya ini, mungkin entah kapan saya akan melongok ke lambang kehidupan modern ini. Tak ada minat saya kesana semenjak gempa itu, meskipun tempat telah kembali baik . namun tak disangka dalam kunjungan kali pertama sejak gempa itu ada hal menarik yang membuat saya ingin berkomentar.

Ketika itu waktu shalat ashar telah masuk. Teman saya masih sibuk berputar-putar seraya melirikkan mata ke barang-barang yang ada. Sedang waktu terus berjalan, dia mash bingung untuk memilih barang, sedang saya masih setia menemaninya sambil berdiri di atas lantai keramik putih pusat perbelanjaan ini. Waktu ashar makin menipis.

Akhirnya setelah urusannya dengan barang-barang itu selesai, kami berdua berjalan menuju arah selatan di lantai dua pusat perbelanjaan tersebut. Di bagian paling ujung sekali ada beberapa kios yang masih belum dihuni, kami berbelok kearah kiri. Di sana telah berdiri beberapa orang, mereka sedang menunggu temannya yang sedang ada keperluan di toilet lantai dua tersebut.

Sebelumnya saya tidak menyangka kalau di sana juga ada mushalla. Saya mengira hanya ada toilet, karena tak ada tanda-tanda atau ciri yang menanadakan keberadaan sebuah mushalla. Gambarannya lebih kurang seperti ini (bagi yang sudah pernah kesana akan tahu), ruangan dengan ukuran 8x8 meter, lantai keramik putih dengan satu pintu masuk yang di depan selalu lembab oleh air. Tidak seperti ruang lain semisal pertokoan yang ada disana, cat di ruangan ini sedikt tak terawat. Di ruangan itu terdapat dua sejadah yang mewakili dua shaf. Setelah saya hitung shaf pertama cukup untuk sembilan orang sedang shaf kedua hanya untuk lima orang. Itulah lebih kurang gambaran ruangannya dalam pandangan saya. Saya menyebutnya ruangan karena tak pantas menurut saya disebut mushalla untuk ukuran gedung mall yang megah ini.

Ketika saya beranjak meningggalkan ruangan itu, menyisakan kejanggalan ketika saya melewati pertokoan yang ada di pusat perbelanjaan tu, begitu gemerlap dan modern. Sedang di sana ada sebuah tempat ibadah yang yang tak tersentuh “keindahan”. Bukan berarti tempat ibadah itu harus megah dan ikut gemerlap. Namun ruangan itu terasa tidak diperhatkan dan dipedulikan oleh sipemilik tempat ini. Seakan-akan anggapannya akan lebih banyak orang yang mengunjungi pertokoan daripada mushalla tu, sehingga faslitas mushalla tak perlu bagus dan nyaman.

Memang benar tujuan orang kesana adalah untuk berbelanja, bukan untuk pergi shalat. Namun bukankah rata-rata orang yang kesana adalah muslim yang ketika datang waktu shalat mereka harus shalat. Atau barangkali sipemilik gedung sudah tahu bahwa pengunjung tempat ini takkan peduli dengan shalat ketika datang panggilan shalat. Mungkin, sehingga tak perlu terlalu dirisaukan masalah fasilitas yang satu ini.

Dari pengalaman ini saya bisa merasakan, begtu telah jauhnya kita dari Tuhan pada zaman sekarang ini. Gemerlap modernitas telah melupakan kita akan hari-hari abadi yang tak lama lagi akan dihadapi oleh setiap manusia yang hidup diatas dunia ini. Dunia yang fana ini telah berhasil menipu kita.

Selasa, 19 Juli 2011

Lamunan sebelum tidur


Kadang-kadang pada malam hari sebelum mata tertidur, ada banyak lamunan, lebih tepatnya pikiran yang melintas di dalam benak. Sudah berusaha untuk membuang semua pikiran itu sebelum tidur, tapi terkadang sulitnya minta ampun. Sesuai dengan tips-tips yang sudah sering terdengar bahwa kalau sebelum tidur itu baiknya tak ada yang dipikirkan.

Tapi ada juga kok untungnya berpikir sebelum tidur itu, asal yang dipikirkan tidak yang aneh-aneh. Salah satu yang menarik yang pernah terlintas mungkin juga ada terjadi pada pembaca. Yaitu tentang kehidupan ini. Buat apa ya manusia itu ada? Buat apa juga saya ada di dunia ini? Setelah itu banyak sekali bermunculan pertanyaan-pertanyaan lain yang sebagian besarnya membuat bingung karena mungkin tak ada jawabannya, atau mungkin hanya karena belum tahu jawabannya.

Terkadang berpikir untuk apa saya gunanya kuliah, apakah untuk dapat kerja? Jadi pengusaha atau yang lainnya? Anggap saja untuk dapat kerja, lalu untuk apa saya kerja? Ujung-ujungnya tentu untuk dapat bertahan hidup. Terakhir untuk apa saya mempertahankan hidup di dunia ini? Apakah karena takut mati lalu terus berusaha untuk hidup. Lalu apa bedanya saya mati sekarang atau mati seratus tahun lagi jika tak ada gunanya saya hidup.

Dari sekian pertanyaan itu, akhirnya saya putuskan hanya satu pertanyaan yang musti saya jawab atau saya cari tau jawabannya, apa gunanya saya hidup? Saya teringat dengan orang-orang yang berpaham atheis, katanya mereka begitu takut dengan mati. Karena baginya itulah akhir segala-galanya. Tak dapat berbuat apa-apa lagi sekehendak hati. Makanya selagi hidup dipuaskan betul apa yang diminta nasfu.

Ingatan saya melayang keberapa waktu yang lalu, barangkali ke waktu sebelum pikiran ini muncul. Sepertinya saya ga ada bedanya dengan orang yang tak percaya dengan tuhan. Lalu apa pula itu yang dimaksud dengan akhirat? Mungkin artinya sudah tahu. Tapi yang di luar pengetahuan itu adalah keberadaannya, alias akhirat itu ada apa ga sih? Tapi sebagai seorang muslim itu merupakan bagian dari keimanan, kalau saya tidak percaya ada akhirat berarti saya belum percaya ada Tuhan.

Yang sering terjadi itu adalah, termasuk pada diri saya sendiri. Saya yakin tuhan itu ada, akhirat itu ada. Namun saya belum bisa menunjukkan keyakinan itu lewat apa yang saya lakukan. Kadang sholat masih tertinggal bahkan tidak ada sama sekali, bermaksiat jalan terus. Lalu ketika pikiran tentang akhirat muncul. Ah, nanti saja, masih banyak waktu, masih muda, kalau sudah tua baru dipikirin. Tapi jarang sekali yang muncul itu adalah tentang kematian. Jarang sekali menghayalkan kalau besok pagi atau beberapa menit lagi saya sudah jadi mayat. Kalau sudah begitu ga jadi deh sampe tua.

Terakhir pikiran yang cukup menarik juga, ini lebih menimbang-nimbang untung rugi. Misalkan saya bulan depan sudah mati dan misalkan juga akhirat atau hari pembalasan itu tidak ada, dan saya habiskan waktu sebulan kedepan dengan bermaksiat, saya jadi orang yang beruntung donk, karena bisa senang-senang. Tapi sekarang misalkan akhirat itu ada, wah berabe urusannya. Masalah besarnya sekarang saya ga tahu kapan saya mati, so ga tau juga kapan nentuin waktu memperbaiki diri. Karena mata sudah mulai mengantuk akhirnya saya berharap tetap jadi orang yang percaya dengan akhirat sampai nanti mati berikut konsekuensi yang harus saya jalankan.

Minggu, 17 Juli 2011

Alasan Hisap Rokok Pertama


Gambar di samping bukan buat nyaranin merokok, but sebaliknya.

Kamu pernah merokok? Atau sekarang kamu sudah jadi perokok? Apa sih untungnya?

Pertanyaan yang ketiga diatas barangkali jawabannya akan banyak sekali, tergantung pada apa yang terlintas di benak saat pertanyaan itu muncul, mungkin jawabannya dalam rangka membela diri karena tidak mau dianggap bahwa merokok itu sebuah kesalahan. Atau barangkali cuma bercanda doank jawabannya.

Pertanyaan yang bagus kayaknya seperti ini; ‘Kapan sih kamu mulai merokok?’, ‘Kok mau merokok pada saat pertama kali kamu menghisap rokok?’ Kali ini izinkan saya menerka jawaban yang bakalan muncul. Pertama, mungkin karena ikut-ikutan apakah itu teman, tetangga, liat orang merokok kepengen juga merokok, atau lebih gawat lagi liat bapaknya merokok juga kepengen ikut merokok.

Kedua, barangkali karena terpaksa. Pas lagi nongkrong sama teman-teman, tiba-tiba disodorin rokok. Niat awalnya sih ga merokok, tapi mungkin karena dibilangin temannya; ‘ah, culun lu’ atau ‘banci lu’. Akhirnya gara-gara ga pengen dibilang culun atau banci ditukar deh sedikit demi sedikit kejantanannya sama sebatang rokok (di kemasan rokok kan disebutin kalo merokok bisa menyebabkan impotensi).

Atau barangkali karena pengen terlihat keren, macho, pengen terlihat ‘bagak’, akhirnya relain deh mulut berasap. Dan mungkin banyak lagi alasan kenapa mau menghisap rokok pas waktu pertama kali ngisap rokok. Yang jelas apapun alasannya kalau sekarang udah jadi perokok, yang perlu disiapin adalah alasan buat kamu berhenti merokok.

Kalau dari segi kesehatan kayaknya udah pada tau semua ya, tapi mungkin bukti kebenaran dari tulisan yang ada di kemasan rokok itu yang sedikit diragukan, maksudnya tunggu dulu buktinya baru berhenti merokok, tunggu sampe bengek datang baru berenti. Tapi jangan sampai deh kayak gitu, berabe urusannya, mulai dari sekarang aja berenti merokoknya.

Dari segi ekonomi, dari pada uang abis buat beli rokok mending ditabung, lama-lama jadi gunung, lalu buka usaha jadi pengusaha insyaAllah jadi orang kaya, amin. Dari pada setiap helai atau gemerincing koin itu dijadikan abu. Pilih mana?

Dari segi waktu, lingkungan, dan masih banyak lainnya. So, tunggu apa lagi. Susah sih emang buat yang sudah kecanduan banget. Bahkan ada pengalaman tersendiri ketika saya bertanya sama orang yang sudah perokok berat, jawabnya; ‘kebutuhan akan merokok ini sudah seperti kebutuhan saya sama air’(orang itu jawabnya dalam bahasa minang). Lalu dia bilang ‘makanya saya sarankan kamu kalau sudah besar ga usah merokok aja, sengsara’.

Tapi apapun itu, kalau ada tekad yang kuat dan serius pengen berhenti merokok, ada jalan kok. Kuncinya gampang, mau menyadari, mau berhenti dan bersungguh-sungguh, sipp.

Dan pesan buat yang belum merokok, tapi ada niat pengen jadi perokok. Sarannya, pikir-pikir lagi deh sampe di pikirannya ga ada lagi niat jadi perokok. (yk)