Laman

Senin, 01 Agustus 2016

Sibaliho

cuma ilustrasi. sumber: cari di google
Sambil duduk-duduk di sebuah kedai di sebuah persimpangan menunggu hujan reda, pandangan tertuju pada seorang yang tersenyum di pinggir jalan. Selalu tersenyum, entah apa yang membuat dia tersenyum saya juga tidak tahu. Saya perhatikan terus, sepertinya dia tersenyum pada saya. Pandangan kami saling bertemu. Saya beralih duduk agak ke kiri, pandangannya masih tertuju pada saya, agak ke kanan, masih juga. Senyumnya tak pernah lepas.

“Coba kalau orangnya yang langsung nemplok disitu ya.”

“Hahahahaha,” tergelak lepas teman di sebelah saya. “Mana mungkin, paling ga sampai sejam sudah semaput.” “Hehehe” saya hanya ikut tertawa memikirkan apa yang baru saja terpikirkan ketika melihat baliho itu.

Baliho ini sungguh tak kenal lelah, siang dan malam berdiri terus ditempatnya. Kalau matahari sedang semangat, terpaksa berpanas-panasan, tapi tak pernah mengeluh. Tak perlu pula mencari tempat berteduh, karna memang tak bisa berjalan, kakinya cuma dari kayu. Kalau langit sedang bocor, terpaksa mandi hujan seperti anak-anak. Bedanya dia diam saja, kalau anak-anak kan kegirangan kalau mandi hujan.


Bagaimana kalau datang angin kencang? Ya bisa-bisa jungkir balik kalau kaki tang sanggup berdiri menahan terpaan yang bisa datang dari arah mana saja. Sukur kalau angin datang dari depan, datangnya terlihat, dan sapa dulu dengan senyuman sebelum angin menerjang. Lah, kalau dari belakang? Tiba-tiba jdeg, tersungkur baliho mencium tanah. Ada angin dari belakang rupanya. Setelah jatuh baru ketahuan ada angin.

Makanya, sret-sret-sret, disilet dulu biar kalau ada angin, anginnya bisa lewat sela-sela siletan, istilahnya, mengurangi terpaan angin. Yah, kalau di silet tak bisa jadi atap pondok dong, begitu cerocos yang pernah saya dengar. Tak bisa buat jemur kakao sama pinang dong.

Macam-macam pula pandangan orang. Tapi tak pernah digubris, selalu tersenyum pada setiap orang. Ada orang yang tak suka, ya tak apa-apa. Ditendang, di sayat, di ludahi. Tak akan marah, dia tetap tersenyum. Teringat pula saya dengan kisah nabi Muhammad yang dilempar tahi, ketika yang melemparnya sakit beliau tetap pergi menjenguknya. Begitula kira-kira.

Ada orang yang suka, kalau orang yang suka sih tak masalah. Tak akan diganggunya si baliho. Barangkali orang-orang yang suka juga ikut membalas senyum yang selalu disunggingkan bibir si baliho. Kalau si baliho berdiri di depan rumahnya, akan dijaganya si baliho agar tak dirusak orang yang tak suka. “iko jagoan den ma” itu mungkin yang ada di pikirannya.

Ada juga orang yang cuek saja, tapi si baliho tetap tersenyum padanya. “paling tidak dapat juga pahala, senyum kan sama dengan sedekah”. Tapi kalau selalu senyum seperti itu apa dihitung sedekah juga ya? Ah, kalaupun tak dapat pahala yang penting tetap senyum. Paling tidak nanti terbayang-bayang olehnya ketika dalam kamar. Kamar? Kamar apa nih?


Hujan sudah mulai reda, meski saya yakin rintik-rintiknya masih sanggup membuat pakaian basah sampai rumah. Saya pandangi lagi Sibaliho yang begitu tegar berdiri menyapa orang orang yang lewat meski kadang sapanya tak berbalas. Sibaliho masih memandangi saya. Saya pun memandanginya lekat-lekat. “Hahahaha..” tertawa saya dalam hati, mengingat apa yang sebelumnya ada di benak saya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar