cuma ilustrasi. sumber: cari di google |
Sambil duduk-duduk di
sebuah kedai di sebuah persimpangan menunggu hujan reda, pandangan tertuju pada
seorang yang tersenyum di pinggir jalan. Selalu tersenyum, entah apa yang
membuat dia tersenyum saya juga tidak tahu. Saya perhatikan terus, sepertinya
dia tersenyum pada saya. Pandangan kami saling bertemu. Saya beralih duduk agak
ke kiri, pandangannya masih tertuju pada saya, agak ke kanan, masih juga.
Senyumnya tak pernah lepas.
“Coba kalau orangnya
yang langsung nemplok disitu ya.”
“Hahahahaha,” tergelak
lepas teman di sebelah saya. “Mana mungkin, paling ga sampai sejam sudah
semaput.” “Hehehe” saya hanya ikut tertawa memikirkan apa yang baru saja
terpikirkan ketika melihat baliho itu.
Baliho ini sungguh tak
kenal lelah, siang dan malam berdiri terus ditempatnya. Kalau matahari sedang
semangat, terpaksa berpanas-panasan, tapi tak pernah mengeluh. Tak perlu pula
mencari tempat berteduh, karna memang tak bisa berjalan, kakinya cuma dari
kayu. Kalau langit sedang bocor, terpaksa mandi hujan seperti anak-anak.
Bedanya dia diam saja, kalau anak-anak kan kegirangan kalau mandi hujan.
Bagaimana kalau datang
angin kencang? Ya bisa-bisa jungkir balik kalau kaki tang sanggup berdiri
menahan terpaan yang bisa datang dari arah mana saja. Sukur kalau angin datang
dari depan, datangnya terlihat, dan sapa dulu dengan senyuman sebelum angin
menerjang. Lah, kalau dari belakang? Tiba-tiba jdeg, tersungkur baliho mencium
tanah. Ada angin dari belakang rupanya. Setelah jatuh baru ketahuan ada angin.
Makanya,
sret-sret-sret, disilet dulu biar kalau ada angin, anginnya bisa lewat sela-sela
siletan, istilahnya, mengurangi terpaan angin. Yah, kalau di silet tak bisa
jadi atap pondok dong, begitu cerocos yang pernah saya dengar. Tak bisa buat
jemur kakao sama pinang dong.
Macam-macam pula
pandangan orang. Tapi tak pernah digubris, selalu tersenyum pada setiap orang.
Ada orang yang tak suka, ya tak apa-apa. Ditendang, di sayat, di ludahi. Tak
akan marah, dia tetap tersenyum. Teringat pula saya dengan kisah nabi Muhammad
yang dilempar tahi, ketika yang melemparnya sakit beliau tetap pergi
menjenguknya. Begitula kira-kira.
Ada orang yang suka,
kalau orang yang suka sih tak masalah. Tak akan diganggunya si baliho.
Barangkali orang-orang yang suka juga ikut membalas senyum yang selalu
disunggingkan bibir si baliho. Kalau si baliho berdiri di depan rumahnya, akan
dijaganya si baliho agar tak dirusak orang yang tak suka. “iko jagoan den ma” itu
mungkin yang ada di pikirannya.
Ada juga orang yang
cuek saja, tapi si baliho tetap tersenyum padanya. “paling tidak dapat juga
pahala, senyum kan sama dengan sedekah”. Tapi kalau selalu senyum seperti itu
apa dihitung sedekah juga ya? Ah, kalaupun tak dapat pahala yang penting tetap
senyum. Paling tidak nanti terbayang-bayang olehnya ketika dalam kamar. Kamar?
Kamar apa nih?
Hujan sudah mulai reda,
meski saya yakin rintik-rintiknya masih sanggup membuat pakaian basah sampai
rumah. Saya pandangi lagi Sibaliho yang begitu tegar berdiri menyapa orang
orang yang lewat meski kadang sapanya tak berbalas. Sibaliho masih memandangi
saya. Saya pun memandanginya lekat-lekat. “Hahahaha..” tertawa saya dalam hati,
mengingat apa yang sebelumnya ada di benak saya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar