Rabu, 23 Desember 2009
Senandung Embun Pagi Untuk Ibu
Keringat yang telah terkuras habis
menetes disetiap persendian tubuhku
Menggeliat menumbuhkan kuku kuku tajam
Namun apa yang engkau cari?
Tak hilang asamu, tak lekang semangatmu
hingga masih terasa hangat membelai kalbu,
menyejukkan kalbu yang mulai kaku
Dalam setiap aliran air mata
sesejuk embun yang mengurai di ilalang pagi
Namun apa yang engkau cari?
Menahan setiap batu yang menghempas tubuh
Terkulai diantara tangkai tangkai bunga merah di taman Mawar
Seakan berhenti denyut jantung untuk memandang
pada setiap lekuk dan liku yang engkau goreskan
Kurasa ada sebuah penyesalan
Namun tak tersirat dalam pandangan
hanya tetes keringat dan air mata yang membuktikan
Lalu apa yang engkau cari?
Tak ada
Lalu apa yang aku beri?
Tak kan mampu ada
Keringat yang telah terkuras habis
menetes disetiap persendian tubuhku
Menggeliat menumbuhkan kuku kuku tajam
Namun apa yang engkau cari?
Tak hilang asamu, tak lekang semangatmu
hingga masih terasa hangat membelai kalbu,
menyejukkan kalbu yang mulai kaku
Dalam setiap aliran air mata
sesejuk embun yang mengurai di ilalang pagi
Namun apa yang engkau cari?
Menahan setiap batu yang menghempas tubuh
Terkulai diantara tangkai tangkai bunga merah di taman Mawar
Seakan berhenti denyut jantung untuk memandang
pada setiap lekuk dan liku yang engkau goreskan
Kurasa ada sebuah penyesalan
Namun tak tersirat dalam pandangan
hanya tetes keringat dan air mata yang membuktikan
Lalu apa yang engkau cari?
Tak ada
Lalu apa yang aku beri?
Tak kan mampu ada
Senin, 07 Desember 2009
Menantang Tuhan
(Merenungi Bencana)
Ketika sebagian bocah manusia, terlena makan rerumputan di padang dosa
Menetes setetes air, penyejuk jiwa, pelipur lara , pembawa nestapa
Kian terbuai dalam ayunan nyata tentang hebatnya dunia, itu bocah manusia
Seakan hilang segala bala
Tak peduli dengan yang esa
Ketika dimulai babak kedua
Panggung sandiwara kembali dibuka
Untuk para pengembara yang haus dunia
Diatas kerikil padang dosa
Menanti tetes air kedua
Penyejuk jiwa
Pelipur lara
Pembawa nestapa
(Merenungi Bencana)
Ketika sebagian bocah manusia, terlena makan rerumputan di padang dosa
Menetes setetes air, penyejuk jiwa, pelipur lara , pembawa nestapa
Kian terbuai dalam ayunan nyata tentang hebatnya dunia, itu bocah manusia
Seakan hilang segala bala
Tak peduli dengan yang esa
Ketika dimulai babak kedua
Panggung sandiwara kembali dibuka
Untuk para pengembara yang haus dunia
Diatas kerikil padang dosa
Menanti tetes air kedua
Penyejuk jiwa
Pelipur lara
Pembawa nestapa
Langganan:
Postingan (Atom)