Laman

Jumat, 01 Juli 2011

Waktu


Oleh Yongki Sukma

Waktu setajam pedang, pedang tajam bermata dua. Harus pandai menggunakan dan memanfaatkannya. Orang sering berkata seperti itu. Tapi sungguh waktu lebih tajam dari pada pedang yang bermata dua. Waktulah yang memisahkan seseorang dengan dunia, waktulah yang mengantarkannya pada kematian.

Waktu adalah uang, waktu adalah emas. Peribahasa itu juga sering terdengar. Tapi sungguh waktu lebih berharga dari pada uang maupun emas. Jikalau tak pandai memanfaatkannya. Menghabiskannya untuk berfoya-foya yang tiada berguna sungguh kemalangan besar yang akan menimpa.

Waktu didunia ini hanya ada tiga, kemarin, sekarang dan besok. Kemarin adalah hal yang telah berlalu. Dia takkan pernah lagi hadir menjumpai. Beruntunglah bagi yang mampu memanfaatkan hari kemarinnya dengan sebaik-baiknya. Digunakan untuk kebaikan, tak tercela karena dihinggapi keburukan. Esok adalah hal yang tersembunyi, belum tentu akan datang menghampiri, siapa tahu diujung hari mati telah menanti. Tapi hari ini, saat ini adalah sekarang. Dia berada dalam genggaman, kekuasaan penuh ada pada yang menggemgam untuk diapakan. Tapi apakah Dia yang telah mengkaruniakan waktu, haknya dapat dengan mudah diabaikan?

Manusia bukan tercipta, tapi diciptakan. Diciptakan karena ada tujuan. Tidak aku ciptakan jin dan manusia kecuali untuk beribadah kepadaku. Ibadah tidaklah sempit, disamping yang telah dia wajibkan, ibadah terbentang sepanjang kemampuan. Kegiatan atau pekerjaan apapun itu, asal yang baik dan bermanfaat dan diniatkan hanya untuk mendapatkan ridha dan pahala dari Allah. Dialah ibadah.

Setiap detik yang berlalu, setiap hari yang berganti malam tak akan mampu untuk dikembalikan. Setetes peluh yang jatuh tatkala membuang duri dijalan jauh lebih berharga ketimbang duduk lama bersenda gurau tak karuan. Ketika begitu banyak waktu yang terbuang percuma, sebegitulah kerugian yang akan menghampiri. Mungkin akan ada tangis sesal diakhir nanti atau peribahasa ‘Nasi telah menjadi bubur’ dibuang jauh-jauh pergi

Nafas kita terus berjalan

Setia menuntun ke pintu kematian

Hari demi hari digulung tanpa henti

Padahal itulah tahap yang kita miliki

Tidak ada yang lebih meyakinkan

Selain datangnya kematian

Maka jika keburukan yang menguasai,

Dan dibiarkan merasuk dalam diri

Alangkah buruk tenggelam dalam kelenaan

Di usia sebelum tumbuh uban

Bagaimana dengan si tua yang lupa diri?

Padahal liang lahat telah lama menanti

(Abdul Malik Al Qasim : 57, 1995)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar